Menurut McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) motivasi sendiri merupakan istilah yang lebih umum, yaitu suatu istilah yang dipergunakan untuk keseluruhan fenomena yang melibatkan tingkah laku individu sebagai hasil suatu rangsang situasi atau motif .
Teori yang dikembangkan oleh McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) menjelaskan tentang kebutuhan-kebutuhan individu atau ada yang menyebutnya dengan motif motif yang menjadi dasar perilaku, yaitu motif untuk berprestasi, motif untuk berkuasa dan motif untuk berafiliasi.
a. Motif untuk berprestasi (n-Ach)
Motif yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan, baik berasal dari standar prestasinya di waktu lalu maupun prestasi orang lain. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih menyukai pekerjaan yang memiliki tanggung jawab pribadi, memperoleh umpan balik dan beresiko sedang. Mereka tidak menyukai keberhasilan yang didapatkan secara kebetulan. Tujuan yang ditetapkan oleh mereka juga merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga tidak terlalu mudah.
b. Motif untuk berkuasa (n-pow)
Motif yang mendorong seseorang mengambil kendali untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain. Orang yang memiliki kebutuhan ini cenderung bertingkah laku otoriter. Dalam memberikan bantuan kepada orang lain, mereka tidak memberikannya secara tulus, keinginan dasarnya adalah agarorang lain menjadi menghormatinya.Pemberian bantuan digunakan untuk menunjukkan kelebihan diri mereka. Ciri-ciri orang yang memiliki motif berkuasa tinggi antara lain adalah suka terhadap perubahan status, senang mempengaruhi orang lain, cenderung membantu tanpa diminta, dan terlibat dalam kegiatan sosial yang melambangkan prestise.
c. Motif untuk berafiliasi (n-aff)
Motif yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Yang menjadi tujuan di sini adalah suasana yang penuh dengan keakraban dan keharmonisan. Dengan motif berafiliasi, orang terdorong untuk membentuk, menjaga, atau memperbaiki hubungan baik atau persahabatan dengan orang lain. Mereka lebih menyukai situasi yang kooperatif daripada situasi yang kompetitif dan mereka akan berusaha untuk menghindari konflik. Ciri-ciri mereka dengan motif afiliasi yang tinggi adalah senang berada dalam suasana hubungan yang akrab dengan orang lain, risau bila harus berpisah dengan orang yang sudah kenal baik, dan dalam bekerja melihat dengan siapa mereka bekerja.
Motivasi berprestasi karyawan tidak hanya karena karyawan yang berprestasi akan mendapatkan insentif, penghargaan dan promosi, tetapi juga akan menimbulkan kepuasan batin karena berhasil melewati tantangan dan rangsangan kreatif dalam pekerjaan itu. Selain itu hal lain yang dirasakan sebagai imbalannya adalah kebanggaan karena telah menuntaskan pekerjaan, menjalin persahabatan dengan mitra kerja, dan dapat membantu mengajari orang lain dalam pekerjaan.
McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) juga mengemukakan bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi tersebut dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi, serta peluang yang tersedia. Energi ini akan dimanfaatkan oleh karyawan karena oleh kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, harapan keberhasilan, nilai insentif yang terlekat pada tujuan. Menurut McClelland, Atkinson, Clark, & Lowell (dalam Maryanti & Meinawati,2007) , motivasi berprestasi merupakan tujuan dari individu agar berhasil dalam persaingan dengan standar tinggi. Individu mungkin akan gagal mencapai tujuan ini, tetapi memungkinkan individu tersebut untuk mengidentifikasikan tujuan yang akan dicapai.
McClelland mengemukakan bahwa motivasi berprestasi berkaitan dengan hasrat atau keinginan individu untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukanlah untuk memperoleh penghargaan sosial atau prestasi melainkan untuk mencapai kepuasan batin dalam dirinya. McClelland juga mengemukakan bahwa orang yang memiliki motivasi yang tinggi akan lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan perbaikan kinerja dan belajar lebih baik. McClelland (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) memberikan batasan terhadap motivasi berprestasi sebagai motif untuk mencapai suatu standar pencapaian atau keahlian. Berdasarkan penelitiannya, McClelland berpendapat bahwa untuk menemukan motivasi yang mendasari suatu tingkah laku, cara yang terbaik adalah dengan menganalisa motif yang ada dalam fantasi seseorang karena motivasi tidak dapat dilihat begitu saja dari tingkah laku. Selanjutnya McClelland berpendapat bahwa motivasi berprestasi dapat ditingkatkan dengan jalan latihan-latihan. Jadi motivasi berprestasi ini dapat dikembangkan pada segala tingkatan umur
Adapun karakteristik individu dengan moti-vasi tinggi atau rendah sebagaimana telah dikemukakan oleh Mc.Clelland dan Winter (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) ada 6 faktor yang membedakan tingkat motivasi tinggi atau rendahnya seseorang, yaitu:
a. Tanggung Jawab
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi merasa bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakannya dan tidak akan meninggalkan tugas tersebut sebelum berhasil menyelesaikannya. Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah kurang merasa bertanggung jawab akan tugas yang dikerjakannnya dan cenderung menyalahkan hal-hal di luar dirinya.
b. Resiko Pemilihan Tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memilih tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang. Walaupun tugas tersebut sulit baginya, tetapi orang tersebut akan tetap berusaha menyelesaikan tugas tersebut, dan berani menanggung resiko bila mengalami kegagalan. Sedangkan individu yang memiliki motivasi rendah akan memilih tugas yang sangat mudah, ia yakin akan berhasil dalam mengerjakannya dan apabila mengalami kegagalan ia akan menyalahkan tugas tersebut.
a. Waktu Penyelesaian Tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan brusaha menyelesaikan setiap tugasnya dengan waktu secepat mungkin, sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah kurang berusaha dalam menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu yang cepat dan cenderung menunda-nunda waktu penyelesaian.
b. Umpan Balik
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai umpan balik yang diberikan orang lain atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Dengan umpan balik atas keberhasilan akan membuat individu memahami efektivitasnya dan akan terdorong untuk meningkatkannya. Sedangkan umpan atas kegagalan akan membuat motivasi untuk memperbaikinya. Individu bermotivasi prestasi rendah kurang menyukai umpan balik karena umpan balik dianggapnya kesalahan yang ia lakukan dan ia akan gagal serta usahanya akan menjadi sia-sia.
a. Keinginan Menjadi yang Terbaik
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu berusaha menunjukkan hasil kerja, mungkin dengan tujuan meraih predikat yang terbaik. Sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah menjadi yang terbaik bukanlah prioritas utama sehingga mereka kurang berusaha secara maksimal.
b. Kreatif dan Inovatif
Individu yang memiliki motivasi berprestasi berprestasi tinggi cenderung kreatif dan kurang menyukai pekerjaan yang selalu rutin dikerjakan, sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan memilih tugas yang sudah berstruktur sehingga ia tidak perlu lagi menentukan sendiri bagaimana cara mengerjakannya.
Teori motivasi dua faktor atau Herzberg's Two Factors Motivation Theory menyatakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yaitu :
1. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri, dan adanya pengakuan atas pekerjaannya itu.
2. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat embel-embel saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat, jabatan, hak, gaji, tunjangan, dll.
3. Karyawan kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.
Herzberg juga mengatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi dua faktor yang merupakan kebutuhan (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yaitu :
a. Maintenance Factor (Hygiene factor)
Adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Faktor-faktor ini meliputi gaji, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, tunjangan, dll. Hilangnya faktor-faktor ini akan menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar.
b. Motivation Factor (Satisfier factor)
Adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan, seperti fasilitas yang memadai, penempatan yang tepat, dll. Jika kondisi ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini meliputi prestasi (achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self), tanggung jawab (responsibility), kemajuan (advancement), dan pengembangan potensi individu (the possibility of growth). Rangkaian ini melukiskan hubungan seseorang dengan apa yang dikerjakannya yakni kandungan pekerjaan pada tugasnya.
Menurut Herzberg cara terbaik untuk memotivasi karyawan adalah dengan memasukkan unsur tantangan dan kesempatan guna mencapai keberhasilan dalam pekerjaan mereka. Penerapannya dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment), yaitu suatu teknik untuk memotivasi yang melibatkan upaya pembentukan kelompok-kelompok kerja natural, pengkombinasian tugas-tugas, & pembinaan hubungan dengan klien. Pengayaan pekerjaan ini merupakan upaya motivator seperti kesempatan untuk berhasil dalam pekerjaan dengan membuat pekerjaan lebih menarik dan lebih menantang.
Maslow (dalam Maryanti & Meinawati,2007) Menyatakan bahwa motivasi manusia bergantung pada pemenuhan susunan hierarkis kebutuhan. Kebutuhan itu menentukan cara bagaimana orang bertingkah laku dan motivasi diri mereka sendiri. Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi sebelum bergerak ke arah kebutuhan yang lebih tinggi. Ketika masing-masing kebutuhan dipenuhi, kebutuhan selanjutnya dalam hierarki itu segera timbul. Maslow mencatat lima kategori utama yang dimulai dari kebutuhan tingkat terendah.
Kebutuhan dasar adalah memenuhi dorongan-dorongan biologis, tingkat kedua mengembangkan kebutuhan untuk bebas dari ancaman fisik dan psikologis. Tingkat ketiga menampung kebutuhan-kebutuhan dicintai dan diterima oleh orang lain. Secara berurutan, ketiga tingkatan yang pertama termasuk kelompok A dan dipandang sebagai kebutuhan akan ketenangan. Maslow percaya bahwa jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka seseorang akan gagal berkembang menjadi orang yang sehat baik secara jasmani maupun rohani. Kelompok B merupakan dua tingkatan yang terakhir, yaitu penghargaan dan realisasi yang dikenal sebagai kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan ini harus dipenuhi jika seseorang ingin menumbuhkan dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow
a) Kebutuhan Fisiologi (Dasar) Rasa lapar Haus Mengantuk Sex
b) Kebutuhan Keamanan (Emosional dan Fisik) Keamanan Perlindungan Kehangatan
c) Kebutuhan Sosial (Persamaan Kelompok) Kelompok-kelompok pribadi Kegiatan-kegiatan sosial Pengakuan dari pihak lain Cinta
d) Penghargaan (Diri dan Orang Lain) Kepercayaan diri Prestasi Perhatian Penghargaan Penghormatan
e) Realisasi Diri (Pemenuhan, Kedewasaan, Kearifan) Pertumbuhan Pengembangan pribadi Penyempurnaan
Teori harapan (Expectancy) dikemukakan oleh Victor Vroom (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) yang menyatakanbahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang ia inginkan dan butuhkan dari hasil pekerjaan itu. Berapa besar ia yakin perusahaannya akan memberikan pemuasan bagi keinginannya sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya itu. Bila keyakinan yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh kepuasannya maka ia akan bekerja keras pula. dan sebaliknya
Menurut Vroom (dalam Maryanti & Meinawati, 2007) faktor dalam memunculkan motivasi kerja individu adalah atasan, isi pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Faktor atasan adalah bagaimana hubungan yang terjalin dengan atasan berlangsung baik dan mengakui otoritas atasan. Isi pekerjaan adalah bagaimana pekerja mengetahui isi dari uraian pekerjaan yang dikerjakannya dan mengetahui fungsi bagian kerjanya dalam proses rangkaian kerja keseluruhan. Kemudian gaji adalah kesesuaian
antara upah yang diterima dengan pekerjaan atau tugas yang dikerjakannya. Perbandingan upah dengan karyawan lain pada perusahaan berbeda-beda. Faktor terakhir adalah kesempatan untuk maju, sejauh mana peluang karir yang tersedia bagi dirinya di perusahaan tersebut meliputi perbandingan kesempatan karir dengan rekan kerja lain dan perbandingan peluang kerja di perusahaan lain.
B. Pola Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan otokratis merupakan pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri yang selalu menganggap organisasi sebagai milik pribadi, mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, menganggap bawahan sebagai alat semata, tidak mau menerima kritik dan saran, terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya, dalam tindakan pergerakannya sering mempergunakan pendekatan paksaan dan bersifat menghukum biasanya gaya kepemimpinan seperti ini digunkan saat situasi mengawasi karyawan yang kurang disiplin saat bekerja , situasi perusahaan yang kurang kondusif dan saat memperingati karyawan yang kurang bertanggung jawab. Sugandi (Tumbol,Tewal,Sepang, 2014)
Gaya Kepemimpinan Demokratik yaitu gaya kepemimpinan yang memiliki karakteristik sebagai berikut, dalam proses pergerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dalam kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat bahkan kritik dari bawahan; selalu berusaha menjadikan bawahannya sukses dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadi sebagai pemimpin , biasanya gaya kepemimpinan seperti ini digunakan perusahaan saat situasi rapat agar karyawan dapat mengeksplor pemikirannya dan ide kreatifnya Sugandi (Tumbol,Tewal,Sepang, 2014)
Gaya Kepemimpinan Permisif / Laissez Faire Ini sama sekali bukanlah kepemimpinan. Gaya ini membiarkan segala sesuatunya berjalan dengan sendirinya. Pemimpin hanya melaksanakan fungsi pemeliharaan saja. Gaya ini kadang-kadang dipakai oleh pemimpin yang sering bepergian atau yang hanya bertugas sementara.yaitu gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan relation oriented (Orientasi hubungan) dari pada result oriented (Penyelesaian tugas). Gaya kepemimpinan seperti ini biasanya digunakan saat situasi pemimpin sering pergi ke luar kota dan tidak bisa menghandle atau mengawasi keadaan kantor secara langsung.
Referensi :
Tumbol,L.C.,Tewal,B.,Sepang,L. J.(2014).Gaya kepemimpinan otokratis,demkratik dan Laissez faire
terhadap peningkatan prestasi kerja karyawan pada kpp pratama manado. Jurnal EMBA,
vol.2.no.1.38-47.
Maryanti,S.,Meinawati,R..( 2007).Peran motivasi berprestasi terhadap prestasi kerjapada agen yang
bekerja dikantor operasional pondok gede dan kalimalang ajb bumiputera 1912 cabang
jakarta timur. Jurnal psikologi,vol.5.no.1.
No comments:
Post a Comment